Jumat, 02 Juli 2010

Dunia tanpa Nyata


Kupacu mobil itu dengan kecepatan tinggi. 180 km/jam. 200 km/jam. 210 km/jam. Tinggi terus meninggi semakin tinggi. Cepat melesat dalam sekejap. Melewati jalan bebas hambatan. Terus kupacu hingga tak tahu pada angka berapa jarum merah itu akan berhenti. Tak ingat lagi waktu dimana tempatku berada saat ini.
Menjelang pagi, jalan bebas hambatan masih lengang. Apalagi ini hari minggu. Makin sedikit orang yang bersedia bangun pagi-pagi untuk berebut sepotong jalan. Lebih banyak yang memilih untuk tidur dan lelap bersama mimpi.
Aku terus menambah kecepatan. Semakin lama semakin tak tahu diri. Semakin lama semakin tak sadar diri. Entah sampai kapan.
Terbebas dari kemacetan ibukota itu menyenangkan. Saat pagi hari seperti ini dapat melihat matahari muncul kemerahan dari atas jalan layang. Tapi aku sedang tidak menikmati itu. Aku sedang tidak bebas sebebas lalu lintas hari ini. Aku buru-buru. Aku ingin cepat sampai!
Pukul enam pagi hari. Aku ingat jam keramik di dalam mobil berbunyi enam kali. Aku tahu waktu sekarang... Tapi mungkin juga waktu itu berhenti pada bunyi keenam. Ketika perpanjangan waktu yang kuminta tak kudapatkan.
Diam. Aku hanya melayang.
Melayang entah dimana.
Dimana-mana terang benderang.
Benderang lalu remang-remang.
Gelap.
Sepertinya lampu baru saja dipadamkan.
Inikah yang kucari? Inikah tujuan itu?
Kenapa aku harus terburu-buru tadi! Aku jadi benci!
KLAP!
"Hipnotis."
"Maaf??" tanyaku.
Lelaki berjubah putih itu hanya tersenyum.
"Selamat datang di dunia nyata."
Aku berkali-kali mengejapkan mata. Siapa dia? Dimana saya?
Ting-Tong-Ting-Tong. Dentang jam kuno besar menggema di sudut ruangan. Enam kali! Enam kali...
"Saya benci enam. Tolong dimatikan," pintaku.
Lelaki berjubah putih menatapku.
"Bukannya tadi anda minta perpanjangan waktu? Pada denting keenam. Sekarang anda mendapatkannya!"
Aku terkesiap. Bagaimana Ia bisa tahu? Apakah ini tujuan yang kuinginkan. Tapi kenapa di sini?
Aku hanya diam. Samasekali tidak punya jawaban.
Laki-laki berjubah putih itu menuju ke seberang ruangan. Menarik layar besar berwarna putih. Dan, Oh, baru kusadari kalau ruangan ini penuh dengan warna putih. Dibalik layar itu ada sebuah jendela. Jendela besar yang membingkai sebuah kaca.
"TIDAK!!"
Tubuhku langsung menggigil. Lelaki berjubah putih itu tersenyum sinis. Dokter ataukah entah ilmuan, Dia pasti tidak normal.
Di depan hamparan lautan biru terbentang. Ombak biru menjilat-jilat hingga menyentuh seperempat jendela. Ruangan ini hanya secuil kecil yang mengambang di tengah lautan.
"Dunia nyata, katamu? Kau pasti siluman ikan paus yang tersesat dan menyamar sebagai... entah dokter ataukah ilmuan. Yang jelas ini tidak nyata. Ini samasekali tidak nyata!"
Lelaki itu tetap berdiri santai. Memandang jauh ke tengah lautan bagai seorang nahkoda yang membawa kapal. Dia berbalik.
"Ah...Tidak nyata?"
Dia mendekatiku. Wajahnya yang runcing dan pucat membuatku merinding. Mengingatkanku pada kisah vampir atau dokter Frakenstein. Aku merasa sangat kedinginan.
"Siapa yang sebenarnya tidak nyata?"
Dia lalu berjalan ke meja tinggi sebelah kursiku. Mengambil sebuah cerutu, menyulut kemudian menghisapnya dalam-dalam. Asapnya yang putih mengepul meyelimuti ruangan.
"Tahukah, mereka yang hidup di dunia nyata sebenarnya telah ciptakan dunia tak nyata di balik mata mereka. Mereka tidak menyadarinya. Tak mau menyadarinya..."
Dia berjalan lalu berhenti sambil sesekali melepaskan asap cerutu ke udara.
"Dunia itu semakin lama semakin berkembang. Tanpa disadari dunia tak nyata itu mengumpulkan kekuatan. Menyimpan amarah. Karena... kau tahu karena apa? Karena mereka tak pernah diakui!"
Suaranya semakin lama semakin meninggi. Menggelegar bagai halilintar. Lalu meledak tawa terbahak-bahak. Tawa mengerikan yang kubayangkan sebagai tawa raksasa ketika kecil dulu.
Kuangkat lututku menyentuh dada. Menngendalikan diri supaya tidak tambah menggigil. Dan upaya itu sia-sia. Udara di dalam ruangan ini semakin dingin saja. Aku semakin menggigil.
"Siapa kau?" tanyaku sewajar mungkin. Agar tidak terlihat ketakutan dan kedinginan.
Dia hanya tertawa semakin keras. Keras dan bertambah keras. Lama sekali. Aku ingin bilang jangan terlalu lama tertawa jika belum sikat gigi,tapi sepertinya Ia samasekali tidak mengerti.
"Aku adalah Dunia tanpa Nyata," jawabnya.
Aku menggernyitkan dahi. Berpikir lebih keras. Lama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar